Tutorial WordPress Pemula

MoreNiche

Kamis, 07 Juni 2012

Mencari Kepemimpinan Otentik

Politik kita saat ini hanya dijalankan oleh penguasa, bukan pemimpin. Kepemimpinan yang berkualitas sukar muncul dalam politik yang penuh tawar-menawar antar-elit, ketokohan yang mengandalkan “darah biru”, dengan modus operandi lewat politik pencitraan. Kepemimpinan yang berkualitas adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan, menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kepemimpinan semacam itu tampak menjadi utopia di era ini karena kualitas politisi kita yang jauh dari etos kenegarawanan.

Sejarah Kepemimpinan
Jika puncak kepemimpinan di Indonesia adalah posisi presiden, maka hanya beberapa presiden Republik Indonesia yang kepemimpinannya memberi dampak kepada Indonesia, sebagai sebuah bangsa. Meskipun pada akhirnya sejarah pula yang membuktikan bahwa semuanya tidak mampu mempertahankan konsistensi kepemimpinan yang berdampak positif bagi nilai-nilai demokrasi dan kewarganegaraan.

Harus diakui bahwa Soekarno permah menjadi pemimpin yang inspiratif. Ia mampu menampung harapan sebagian besar bangsa Indonesia untuk mau menyatu menjadi satu bangsa yang merdeka. Ia mampu membakar rasa bangga sebagai bangsa Indonesia dengan pidatonya yang khas. Kerajaan-kerajaan di nusantara sebagai suatu sistem masyarakat yang sudah lebih dahulu ada, bersedia menyatu di bawah Negara Republik Indonesia berkat pendekatan dari Soekarno. Ia menggerakkan kepresidenan berdasar ide-ide besar. Soekarno adalah tipikal kepemimpinan politik berbasis ide yang sarwa besar. Maka sebagai “pemimpin idea”, Soekarno menggagas perlunya politik sebagai panglima, bahkan atas kebudayaan. Dengan ini, ia menggelar lembaran diskursif bagi pertarungan politik dalam kancah kebudayaan: haruskah kebudayaan mendaulat politik sebagai panglima, ataukah ia otonom sehingga bebas dari politik? Hingar-bingar dan cacian ideologis antara kubu LEKRA dan Manikebu ini, tentu tak akan terjadi di era Soeharto karena kebudayaan telah membirokrasi, atau di era SBY di mana budaya turun derajat menjadi jualan pariwisata. Soekarno mencoba sejumlah gagasan besar, menyatukan ideologi nasionalisme, agama dan komunisme. Dengan cerdas ia mengubah terma buruh Marxian menjadi kaum Marhein (marhaenisme). Di tengah ide-ide besar itu, ia mendaulat diri sebagai Pemimpin Besar Revolusi, menciptakan ide demokrasi terpimpin. Secara perlahan ia tidak lagi mendengar kritik dan mulai membungkam teman seperjalanan dalam perjuangan kemerdekaan yang dianggap menghambat jalannya revolusi.

Soeharto memiliki konsep jelas: pembangunan, tepatnya hanya pembangunan ekonomi. Sesaat ia memberikan dampak yang baik dalam era kepemimpinan bagi Indonesia. Ekonomi bertumbuh, pembangunan fisik infrastruktur juga berjalan. Pancasila sebagai ideologi bangsa menyebar luas di dalam sistem pendidikan nasional dan juga lewat jalur birokrasi pemerintah. Hampir semua warga negara merasakan dampak positif dari konsep pembangunan Orde Baru, terutama efek kontras terhadap orde sebelumnya. Meskipun demikian, kontrol yang berlebihan menciptakan pengekangan. Kita bertumbuh secara ekonomi tapi tak bertumbuh sebagai warga negara yang sehat. Bagi Soeharto pembangunan politik hanya menimbulkan konflik yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Itu sebabnya, kepemimpinannya berjalan secara totalitarian, mengontrol hampir semua aspek kehidupan warga negara, memberangus kebebasan, melakukan pelanggaran HAM. Pengekangan politik berdampak ke wilayah ekonomi, tidak boleh ada kekuatan ekonomi yang independen dari kekuasaan. Tidak heran jika pertumbuhan ekonomi yang diciptakannya bermasalah dalam hal distribusi. Ia terkumpul dilingkaran kroni dan menciptakan ketimpangan sosial. Terhambatnya arus demokrasi politik dan ekonomi menyebabkan demonstrasi besar yang memaksanya turun sebagai pemimpin di negara.

Era kepemimpinan Gus Dur memberi pelajaran hidup sebagai warga sipil. Ia memberi pembelajaran bahwa hidup dalam masyarakat yang beragam adalah hidup yang saling menghargai satu dengan lainnya dalam ruang kehidupan bersama. Ini yang mencirikan warga negara sebagai manusia yang beradab (sipil). Cara koersif tentunya perlu dikeluarkan dari ruang bersama yang mengutamakan dialog. Dengan kepemimpinan di tangannya Gus Dur berani mengambil keputusan yang beresiko secara politis. Dalam politik keberagaman, ia mengakui Kong Hu Cu, menjalin dialog hangat dengan kelompok agama lain, juga kepada korban stigma komunisme di Indonesia. Ia melontarkan gagasan yang paling sensitif dan dianggap sesat: membangkitkan Marxisme-Leninisme untuk bebas dipelajari kembali, melalui penghapusan TAP MPRS No. XXV/1966.Supremasi sipil ditegakkannya dengan menghapus Dwifungsi ABRI, arus informasi dibebaskan lewat pembubaran departemen penerangan, birokrasi koruptif dibersihkan dalam pembubaran departemen sosial. Dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, Gus Dur memancing banyak kontroversi, tapi kita tahu bahwa gagasan itu baik adanya bagi pembangunan karakter bangsa. Akan tetapi, kontroversi korupsi dari orang-orang di dekatnya, terlebih sebagai Presiden RI ia bertemu dengan narapidana Tommy Soeharto. Kepemimpinannya pun berakhir lewat krisis politik.

Pemimpin Kebetulan

Kepemimpinan di masa sekarang sering dianggap tidak jelas. Presiden dianggap tidak tegas dalam mengambil sikap. Apakah presiden kita memang hanya pandai bercitra? Menggunakan politik pencitraan dengan mencipta realitas semu dalam iklan, tentang senyumnya yang menawan, perawakannya yang gagah, ucapannya yang santun, dan karakter militernya yang amat sipil. Tentu kita pun mafhum dengan karakter seperti ini. Sebuah karakter minus-kepemimpinan yang terbentuk, akibat pola politik yang tidak jelas. Tidak jelas dalam artian hampa nilai, konsep dan ideologi. Tidak jelas dalam artian murni pragmatisme “dagang sapi”.

Artinya, minus kepemimpinan memang dibentuk oleh kondisi pluralisme politik Schumpeterian. Satu kondisi di mana demokrasi hanya menjadi mekanisme kompetisi elit. Dalam situasi ini, aktor, partai, kepentingan dan kekuatan politik bersifat plural. Ia tidak hanya dimiliki oleh SBY dan partainya. Ia harus mendapat sokongan dari kekuatan yang majemuk. Dari sini kita mafhum, kenapa SBY tetap memelihara Golkar dan PKS dalam koalisi partai, padahal kedua partai ini terbukti membelot dari kesepakatan koalisi dalam kasus hak angket pajak kemarin. Jawabnya jelas: SBY sadar bahwa dalam politik pluralis, hal terpenting adalah menjaga sokongan kekuatan dari dukungan yang majemuk. Dalam kondisi ini, mustahil SBY bisa bersikap tegas. Alasan sederhana: memperbanyak kawan, dengan menutupi kesalahan kawan-lawan. Ketegasan dalam kepemimpinan menjadi mustahil, ketika politik hanya dimaknai sebagai perawatan dukungan demi terjaganya kekuasaan. Akan ada banyak pesanan kepentingan dari kawan-lawan yang membuat sang presiden, mustahil bisa bersikap tegas.

Sementara itu pada tataran umum, kepemimpinan menjadi utopia ketika rekrutmen pemimpin politik (partai) kita yang masih mengandalkan “darah biru” dan simbol sang patron. Maka PDI-P akan tetap menjadikan Megawati sebagai ketua umum partai dan calon presiden. Alasan sederhana: meskipun Sang Ibu hampa konsep, bukan pemimpin yang paham filsafat, etika, dan detail pemerintahan, namun ia adalah anak Soekarno. Cukup itu saja menjadi modal bagi peraupan suara kaum Marhein. Hal sama dengan Partai Demokrat yang akan tetap bernaung di bawah bayangan besar SBY. Atau PKB dan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia yang tak mau lepas dari keramat Gus Dur. Juga Partai Golkar yang menciptakan patron bagi mereka yang paling tinggi kekayaannya.

Rekrutmen kepemimpinan partai kita yang hanya berlandas pada “keturunan biologis dan materilis” dan bukan “keturunan konseptual” inilah yang memberangus karakter kepemimpinan dari para ketua partai itu. Pemimpin politik kita tidak lahir dari perjalanan panjang dalam terang pergulatan intelektual dan perjuangan demokrasi. Para pemimpin kita adalah “pemimpin kebetulan”, kebetulan berada pada garis keturuanan tokoh tertentu atau kebetulan mendapat restu dari sang tokoh. Atau kebetulan ia adalah orang paling kaya di dalam partai.

Indonesia memerlukan pemimpin yang kecakapannya lahir secara alamiah, melewati proses dan bukan garis tangan. Tolak ukurnya sederhana, seorang pemimpin dengan riwayat kerja profesional, kinerjanya mendapatkan pengakuan dari banyak pihak, baik bawahan, rekan sejawat atau pun lingkungan eksternalnya. Kepemimpinan otentik mampu menginspirasi. Ia mampu menggerakkan individu yang secara struktural berada di bawahnya yang bergerak berdasarkan tujuan bersama dan bukan instruksi semata. Mereka mau digerakkan karena melihat ketulusan dari sang pemimpin, kejelasan konsep dan kosnistensi dari kebijakan yang dijalankan, terlebih lagi keberanian mengambil tanggung jawab, tanpa mengorbankan bawahan. Pemimpin yang tidak mengambil keuntungan dari kekuasaan yang dipegangnya.

Kualitas Kepemimpinan Politik Indonesia

Kepemimpinan seperti apa yang berlangsung di Indonesia saat ini? Atau jangan-jangan pertanyaannya: Adakah kepemimpinan di Indonesia saat ini? Tetapi baiklah kita menggunakan pertanyaan pertama saja. Ini bisa dibilang sebagai penghalusan karena terkesan kita sudah mengenali adanya kepemimpinan tetapi belum paham benar seluk-beluk di dalamnya.

Untuk menganalisis kepemimpinan politik Indonesia, di sini digunakan kerangka pemikiran dari Cathy Gormley-Heenan (2001) dalam risetnya, From Protagonist to Pragmatist: Political Leadership in Societies in Transition. Ada sembilan isu kunci yang dijadikan kategori yang mendasari analisis: (1) penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan politik; (2) aktivitas memimpin partai; (3) pemenuhan janji kepada konstituen; (4) pembinaan hubungan dengan partai lain; (5) pelayanan publik; (6) persiapan menghadapi pemilu selanjutnya; (7) pengelolaan dan penataan ulang partai; (8) kesiapan menghadapi perubahan; dan (9) manajemen proses.

Gormley-Heenan menggunakan kerangka pemikiran ini untuk menganalisis negara-negara yang sedang mengalami konflik atau yang sedang berada dalam transisi. Indonesia, yang masih dalam masa transisi dari negara otoriter ke negara demokrasi, cukup sering dilanda konflik horisontal. Oleh karena itu, kerangka pemikiran ini cocok juga digunakan untuk menganalisis Indonesia.

Penggunaan dan Penyalahgunaan Kekuasaan Politik

Penggunaan kekuasaan politik dan sensitivitas terhadap hal-hal yang terkait dengan penggunaan kekuasaan penting dalam kepemimpinan politik. Jika pemimpin kurang sensitif terhadap isu-isu terkait dengan penggunaan kekuasaan dan hanya bertindak berdasarkan kepentingan satu atau beberapa kelompok, maka kepemimpinannya tidak akan berefek signifikan terhadap perbaikan dan perubahan negara yang positif.

Kita saksikan belakangan ini ada kecenderungan kepemimpinan politik Indonesia sering menampilkan tindakan yang dipersepsi lebih menguntungkan kelompok-kelompok tertentu ketimbang kepentingan rakyat. Selain kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan yang sudah diproses secara hukum, masih banyak ditemukan indikasi penyalahgunaan yang diberitakan di media massa dan diulas di forum-forum diskusi. Dari situ, tampak sensitivitas pemimpin politik Indonesia masih rendah. Kepemimpinan politik Indonesia masih rawan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara penggunaan kekuasaan yang diarahkan kepada perbaikan kondisi masyarakat Indonesia masih terus ditagih karena pelaksanaannya tampak setengah hati.

Aktivitas Memimpin Partai

Keterampilan kepemimpinan dibutuhkan juga untuk mengelola partai. Banyak persoalan yang menghambat dan merugikan negara berasal dari perilaku orang-orang partai yang memegang kekuasaaan baik eksekutif maupun legislatif. Persoalan-persoalan itu semestinya dapat dicegah atau ditangani secara cepat oleh pemimpin politik dari partai-partai itu agar tidak mengganggu kinerja kepemimpinan nasional. Negosiasi, konsesi dan tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan partai semestinya dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat oleh para pemimpin politik di dalam partainya sehingga tidak mengganggu kinerja kepemimpinan politik dalam mengelola negara.

Kita bisa saksikan kasus-kasus korupsi yang melibatkan elit-elit partai, baik yang memegang jabatan di pemerintahan maupun yang hanya menjabat di partai. Selain itu konflik dalam partai marak diberitakan oleh media massa. Contohnya, Partai Demokrat saat ini sedang mengalaminya meski berkali-kali dinyatakan oleh beberapa pengurusnya bahwa mereka masih solid. Tetapi secara intuitif kita dapat menyaksikan konflik itu ada. Pemimpin politik Indonesia tampaknya masih belum mampu memimpin partainya untuk tetap solid dan menghindarkan kepemimpinannya dari kepusingan dan kebingungan yang menguras waktu, tenaga dan pikiran untuk mengatasi masalah-masalah dalam partainya.

Pemenuhan Janji kepada Konstituen

Pemenuhan janji kepada konstituen merupakan satu indikator dari efektivitas kepemimpinan politik. Selain keterampilan kepemimpinan untuk mengelola partai, pembinaan hubungan baik dengan konstituen menjadi kunci keberhasilan kepemimpinan politik. Kemampuan untuk mengelola dan memenuhi janji kepada konstituen memungkinkan pemimpin politik untuk dapat bekerja efektif. Sebaliknya, jika pemimpin politik tak dapat membina hubungan baik dengan konstituen, maka kepemimpinan politik akan berlangsung tanpa dukungan mereka sehingga bisa menyebabkan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan tidak dapat berjalan baik. Kepemimpinan politik akhirnya menjadi kepemimpinan tanpa mandat.

Seperti sudah jadi pengetahuan umum di Indonesia, setelah pemilu, konstituen seakan tak diperlukan lagi. Janji-janji orang yang kemudian terpilih jadi pemimpin politik seperti tak diingat lagi. Pemenuhan janji tampaknya bukan hal yang penting bagi mereka. Kepemimpinan politik Indonesia kebanyakan berjalan seperti tanpa mandat dan para pemimpin pun tampak merasa tak perlu mempertanggungjawabkan mandat dari konstituen yang diembannya.

Pembinaan Hubungan dengan Partai Lain

Membina hubungan baik dengan partai lain menjadi hal yang niscaya meski sulit dilakukan, apalagi jika partai lain sejak awal memutuskan untuk menjadi oposisi. Pertentangan dengan partai lain yang intens dan berkepanjangan akan menguras tenaga dan menghambat jalannya pemerintahan. Tetapi, pembinaan hubungan itu jangan sampai melulu mengurusi pembagian kekuasaan. Kerjasama antarpartai harus diarahkan kepada usaha penerapan kebijakan dan pelaksanaan program untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat.

Kita tahu ada pembinaan hubungan antarpartai seperti yang ditampilkan dalam bentuk Sekretariat Gabungan. Tetapi kita juga menyaksikan partai-partai itu seringkali tidak harmonis, bahkan saling mengancam, saling menyandera dan saling memaksakan kepentingan masing-masing. Hubungan antarpartai tampaknya baru sampai urusan pembagian kekuasaan, berapa menteri dari partai anu, berapa banyak yang akan diperoleh partai lainnya. Itu pun masih banyak terjadi konflik kepentingan yang menguras banyak waktu, tenaga, pikirn dan biaya sehingga kinerja kepemimpinan politik Indonesia tak efektif.

Melaksanakan Pelayanan Publik

Pembinaan hubungan antara pemimpin politik dan para aparat negara yang bertugas menjalankan pelayanan terhadap masyarakat merupakan satu kunci penting dalam kepemimpinan politik. Pemimpin politik harus dapat menjamin terlaksananya pelayanan publik, bekerjanya setiap sektor untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat, mengembangkan masyarakat. Kepemimpinan politik yang buruk bukan hanya membuat kinerja pelayanan publik tidak efektif, melainkan juga melemahkan mentalitas dan moralitas para petugas pelayanan publik.

Pelayanan publik di Indonesia masih tergolong buruk meski sudah ada beberapa perbaikan, seperti kartu miskin yang memperingan biaya kesehatan dan pendidikan. Secara umum pelayanan publik di Indonesia masih jauh di bawah standar kelayakan. Sarana transportasi, bahkan di kota besar sekalipun, masih minimal. Pelayanan kesehatan dan penyediaan pangan dan perumahan rakyat juga demikian. Berbagai macam urusan yang memerlukan persetujuan aparat pemerintah masih berlangsung lambat. Penerapan dan penanganan hukum masih diskriminatif. Praktek pungutan liar, sogok-menyogok dan suap masih berlangsung. Kepemimpinan politik Indonesia belum dapat melaksanakan pelayanan publik secara memadai.

Mempersiapkan Pemilu Selanjutnya

Tantangan-tantangan terhadap kepemimpinan sering muncul berkaitan dengan pemilu selanjutnya. Banyak serangan dan gangguan yang ditujukan kepada pemimpin politik dalam rangka menurunkan popularitasnya sehingga perolehan suarannya menurun di pemilu selanjutnya. Efek dari serangan dan gangguan itu seringkali bukan hanya menurunkan popularitas, melainkan juga melemahkan kinerja kepemimpinan politik sehingga penerapan kebijakan dan pelaksanaan program-program pemerintah tidak berjalan. Pemimpin politik harus memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan-tantangan itu, mengatasi serangan dan gangguan itu secara efektif dan efisien.

Menghadapi Pemilu 2014, partai-partai mapan yang ada di Indonesia sudah mulai saling menyerang dan saling melemahkan. Kepentingan menang pemilu itu bisa berefek kepada kinerja kepemimpinan nasional. Isu-isu seputar siapa yang akan dicalonkan menjadi presiden sudah beredar dan mengusik pemimpin politik Indonesia untuk menanggapinya, bahkan Presiden SBY secara khusus menanggapinya. Meski belum sampai secara langsung mengganggu kinerja kepemimpinan politik Indonesia, isu pemilu yang akan datang sudah mengambil porsi perhatian para pemimpin politik dan bisa jadi mengganggu konsentrasi kerja mereka mengelola negara. Isu-isu kudeta atau pemakjulan bermunculan, meskipun pihak-pihak yang terkait sudah membantahnya. Situasi itu memberikan indikasi bahwa kepemimpinan politik Indonesia belum dapat mengatasi tantangan-tantangan kepemimpinan terkait isu politik secara optimal.

Penataan Ulang Partai

Terpilihnya pemimpin politik (sebagai presiden, gubernur, bupati atau walikota) dari partai tertentu menuntut partainya untuk melakukan penataan ulang partainya untuk menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan situasi politik yang berlangsung setelah itu. Pemimpin politik sebagai kader dari partainya harus memiliki kemampuan menata partainya sesuai dengan kebutuhannya untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin politik. Penataan ulang partai perlu dilakukan untuk kebutuhan dukungan di dewan perwakilan rakyat, pengaturan koalisi, penempatan kader partai dalam pemerintahan, pengelolaan konflik dan sebagainya. Tanpa kemampuan menata ulang partai, kepemimpinan efektif tak bisa dicapai. Kepemimpinan politik nasional harus mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan-kemungkinan penataan ulang partainya.

Terkait dengan belum mampunya pemimpin politik memimpin dan mengelola partainya untuk tetap solid, aktivitas penataan ulang partai politik oleh para pemimpin politik Indonesia pun masih belum optimal. Malah banyak terjadi konflik internal partai. Alih-alih partai menunjang berjalannya kepemimpinan politik Indonesia secara efektif, justru persoalan-persoalan internal partai jadi pengganggu. Urusan internal partai malah menyedot banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya para pemimpin politik Indonesia.

Kesiapan Menghadapi Perubahan

Perubahan politik merupakan satu implikasi dari pergantian kepemimpinan politik nasional, bahkan menjadi tuntutan bagi kepemimpinan politik yang baru. Jika tidak, kepemimpinan itu tidak berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya dan dapat kehilangan mandat dalam memimpin. Perubahan politik selalu mengandung risiko dan pemimpin harus bersiap-siap menanggung risiko itu.

Ada kecenderungan para pemimpin politik Indonesia menghindari perubahan yang signifikan. Mereka tak menampilkan keberanian menghadapi risiko. Mereka cenderung mempertahankan status quo. Dibandingkan dengan kepemimpinan politik terdahulu, tidak ada perubahan berarti yang terjadi. Tak ada program yang sungguh berbeda dan berefek kuat terhadap perbaikan kondisi masyarakat. Meskipun secara makro keadaan ekonomi Indonesia tergolong stabil, bahkan meningkat, tetapi secara umum program-program yang dilaksanakan tak berbeda secara signifikan dengan program-program di periode terdahulu. Malahan, beberapa kebijakan terobosan yang banyak mendapat tanggapan positif ditinjau kembali, seperti wewenang Komite Pemberantasan Korupsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi.

Manajemen Proses

Manajemen proses merupakan elemen esensial dalam setiap komitmen keterlibatan dalam jabatan politik. Untuk menjamin tanggung jawab dan mandat dari rakyat dapat terlaksana secara baik, pemimpin politik harus dapat menjaga berjalannya penerapan kebijakan dan pelaksanaan program. Ia harus memahami mekanisme dan aturan dari penerapan kebijakan dan pelaksanaan program, menjaga semua itu agar terus berlangsung, mengendalikan proses ke arah yang direncanakan. Tanpa kemampuan manajemen proses, kepemimpinan politik tak akan berjalan baik.

Kita saksikan banyak program yang tidak berkelanjutan. Kita temukan juga undang-undang yang sudah disahkan dan diundangkan negara tak sungguh-sungguh diterapkan dalam masyarakat, hambatan-hambatan dalam pencairan dana program, lambatnya penanganan-penanganan masalah di dalam dan luar negeri. Masih banyak mekanisme dan aturan penerapan kebijakan dan pelaksanaan program yang belum jelas atau tak tersosialisasi secara baik. Kepemimpinan politik Indonesia masih belum dapat menjaga dan mengendalikan proses pembangunan negara secara optimal.

Penutup

Jadi, kepemimpinan seperti apa yang berlangsung di Indonesia saat ini?

Dari hasil analisis tadi, kita temukan bahwa kepemimpinan politik Indonesia masih tergolong lemah. Jelas kepemimpinan macam itu tidak dapat membawa Indonesia melakukan transformasi menjadi negara yang berkembang dan kuat. Dilihat dari aspek transaksional, kita temukan juga bahwa hubungan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat tidak bisa dikatakan baik mengingat masih banyak terjadi konflik politik dan konflik horisontal yang memakan banyak jiwa.

Memang masih banyak negara yang kepemimpinan politiknya lebih buruk dari Indonesia. Juga kita sering membaca atau mendengar, ada pihak-pihak luar negeri yang memberi pujian sebagai negara demokratis besar yang bisa jadi contoh keberhasilan demokrasi dan berhasil menghindar dari krisis global belakangan ini. Tetapi, bantahan terhadap penilaian itu juga banyak diajukan. Bahkan ada analisis yang menghasilkan kesimpulan bahwa Indonesia sedang terus-menerus mengalami kemunduran. Memang masih banyak persoalan besar yang muncul terkait kepemimpinan politik Indonesia. Jika itu dibereskan, Indonesia bisa lebih baik lagi dan terhindar dari kemungkinan negara gagal.


Pemimpin dan Kepemimpinan

Coba bayangkan gambaran situasi berikut. Setelah pemilu usai, politisi melakukan transaksi jual-beli suara, KPU menyulap hasil suara. Caranya dengan memindahkan sejumlah suara kepada kandidat tertentu, terutama dari partai atau calon legislatif peserta pemilu yang tak memiliki saksi sejak tingkat TPS. Pemindahan atau penggelembungan suara partai atau calon legislatif memiliki banderol harga. Suara pemilih seenaknya diperjual-belikan. Calon dengan suara minim digelembungkan. Dalam iklim politik yang demikian, kita sedang mencari dan memilih pemimpin formal. Maka, pertanyaannya adalah: pemimpin formal macam apa yang bisa kita dapat dalam iklim seperti itu? Jika pemimpin diperoleh dalam cuaca politik seperti di atas maka harapan untuk membangun suatu kepemimpinan yang kuat dan bermartabat semakin tipis bahkan lenyap.

Di sisi lain, kita juga menemukan pemimpin informal yang muncul di berbagai kelas sosial. Namun, banyak diantara kepemimpinan mereka yang terbentuk atas dasar supremasi etnisitas, agama, dan golongan. Dukungan diperoleh karena keberhasilannya membangun sentimen dan rasa benci pendukungnya terhadap “yang-lain” dan “bukan mereka”. Kedua model pemimpin demikian sedang menguat dan mengakar di Indonesia hari ini.

Pemimpin lain yang muncul di tingkat lokal (terutama tingkat kabupaten) juga berangkat dengan pola tak jauh berbeda. Umumnya adalah para pengusaha, birokrat ataupun para jago (preman) yang memiliki banyak uang. Beberapa diantaranya disokong pendamping dari kalangan artis untuk membantu pendulangan suara. Pada tingkat ini, pemimpin-pemimpin yang muncul kebanyakan adalah figur yang menjadi tempat bergantung hidup bagi tidak sedikit orang. Merujuk studi Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord (2003), mereka layaknya para sikep di Jawa era kolonial Belanda, yakni pemilik tanah dan sawah. Warga desa non-sikep menumpang (bergantung) hidup, dengan cara bekerja di sawah/tanah para sikep, mendapat tempat tinggal di tanah sang sikep, namun tenaga kerjanya menjadi milik para sikep. Para sikep memiliki kekuasaan yang besar, karena kekuasaan monarki Mataram-Jawa tak lagi mampu menyentuh mereka yang jauh dari pusat kerajaan, plus kekuasaan kolonial yang mampu mengerdilkan. Kekuasaan para penguasa lokal hari ini pun nyaris serupa, tak bisa lagi dikontrol semaunya oleh kekuasaan pusat atau nasional.

Politik lokal hari ini memiliki kemiripan dengan pola hubungan sikep di era kolonial. Banyak orang menjadi tokoh lokal karena menjadi tempat bergantung hidup bagi banyak orang lainnya. Hubungan-hubungan inilah yang menopang jalinan kekuasaan yang dibangun. Pertarungan politik lokal menjadi pertarungan antara para “sikep”. Dalam situasi seperti ini kita dihadapkan pada persoalan pencarian pemimpin dan bagaimana membangun kepemimpinan nasional. 

Para sikep adalah pemimpin yang berhitung atas dasar untung-rugi dan akumulasi kekayaan. Karakter ini yang juga menurun pada pemimpin lokal hari ini. Para sikep era modern ini secara politik kekuasaannya jauh dari jangkauan kekuasaan pusat (presiden), karena juga dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang membuatnya punya legitimasi dukungan rakyat. Tak sedikit dari mereka yang mengeluarkan aturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya, bahkan bertentangan dengan konstitusi. Penguasa pusat tak kuasa lagi seenaknya menindak mereka sebagaimana di era Orde Baru. Muncullah kekuasaan lokal yang menguat, dan parahnya dipimpin para medioker.

Kalau merujuk studi klasik Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), ada dua jenis kepemimpinan yang muncul di era pergerakan nasional dan pasca revolusi, yakni “administrator” dan “solidarity maker”. Para “administrators” meyakini bahwa kemampuan untuk mencapai kekuasaan haruslah didasarkan pada keahlian teknis, dan juga status melalui pencapaian atas penguasaan terhadap kemampuan teknis atau biasa disebut mencapai kepakaran. Para administrators menilai bahwa posisi kepemimpinan haruslah berada di tangan orang-orang seperti mereka, baik di dalam birokrasi sipil, militer, dan partai-partai politik. Menjabat atas dasar kemampuan pemikiran atau ide, sebagaimana pernah dikembangkan oleh kolonialisme sebagai bagian dari upaya rasionalisasi, yaitu kaum terdidiklah yang memiliki hak untuk memerintah. Ditambahkan juga bahwa martabat sosial haruslah merujuk pada pertimbangan serupa, yakni bagi mereka-mereka yang memiliki kualifikasi akademis, keahlian professional dan juga pengetahuan atau pengalaman seseorang dengan budaya dan dunia intelektual.

Sementara, di sisi yang lain, para solidarity-makers meyakini bahwa kompetisi seharusnya didasarkan pada tuntutan dan dukungan massa, demikian juga dengan pencapaian status. Para solidarity makers menilai bahwa posisi kepemimpinan, baik di dalam birokrasi maupun partai politik, haruslah didasarkan pada kedekatannya dengan rakyat dan memahami apa yang diinginkan rakyat. Mereka juga menekankan bahwa martabat atau prestise sosial tidaklah ditentukan oleh kualifikasi formal, melainkan pada kepemimpinan (politik) sebagai bentuk kepemimpinan yang sesungguhnya, yang bertujuan untuk melayani kepentingan bangsa dan negara. Para solidarity makers lebih banyak mengungkapkan ide-ide normatif dan cita-cita masa depan seperti: revolusi merupakan jembatan penghubung kepada masa depan Indonesia yang penuh dengan kesejahteraan, keadilan, keharmonisan dan kuat. Model administrator biasanya merujuk pada Mohammad Hatta, sedangkan solidarity-maker merujuk pada Sukarno.

Pascarevolusi, kepemimpinan model administrator lebih mudah beradaptasi dengan situasi baru, yakni keahlian sesuai dengan tipe negara modern. Sementara tipe solidarity maker, seperti pimpinan gerilyawan, komandan tentara regional, propagandis politik dan para pemimpin keagamaan sangat sulit beradaptasi dalam situasi damai karena kekurangan keahlian yang dibutuhkan negara modern. Dalam situasi ini mereka pun mulai mengubah peran mereka menjadi administrator. Ada pola kepemimpinan yang muncul di era awal Indonesia berdiri, yakni para pemimpin tumbuh karena intelegensia, keutamaan, keahlian dan kecakapan, dan sebagian ditambah dukungan rakyat, dengan ide dan semangat membangun demokrasi, pluralisme dan pengormatan kepada hak asasi manusia.

Namun, kualitas itu hilang saat ini. Para “administrators” masa kini sibuk menyulap kekayaan, lewat pencucian uang, suap, penggelapan pajak, pemalsuan sertifikat tanah, pengadaan letter of credit fiktif, impor daging manipulatif, transaksi pasal perundangan, dan lainnya. Sementara model solidarity maker masa kini banyak yang sibuk menebar benih kebencian di mana-mana, menciptakan sosok “yang-lain” dalam ujud ras, etnis, agama lain sebagai musuh. Yang terjadi adalah, munculnya para penggalang kebencian, ketimbang penggalang solidaritas. Para solidarity maker era kini justru menggali dan memaksimalkan kebencian massa sebagai basis dukungan. Sementara para administrator menguras keahliannya untuk memperkaya diri, dan menularkan perilakunya kepada kehidupan sosial dan mendorong politik menjadi arena tukar-menukar kepentingan pribadi.

Studi Feith dan Onghokham bisa membantu untuk melihat konteks kekinian, di mana justru segala keburukannya kita temukan hari ini, namun semuanya bermuara pada satu hal pasti: ketiadaan kepemimpinan! Coba kita lihat data berikut: selama tahun 2004-2011 ada 158 kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) tersangkut kasus korupsi! Selama 2008-2011 ada 42 anggota DPR terseret kasus korupsi! 30 anggota DPR periode 2004-2009 diduga terlibat kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia! Merekalah para pemimpin pilihan rakyat yang diharapkan membangun suatu kepemimpinan baik lokal maupun nasional.

Para pemimpin era reformasi membangun kekuasaan politiknya bukan karena keahlian ala administrator, maupun dukungan massa layaknya solidarity maker, melainkan lewat transaksi dan politik uang dengan juga memanipulasi pilihan publik lewat media massa. Uang dan citra menjadi rumus baru untuk menjadi pemimpin. Gelar akademik pun ramai-ramai dibeli, bahkan ada yang sama sekali tanpa pernah menginjakkan kakinya di almamater tempat ia mendapatkan ijazah. Politik dikelola dengan bersandar pada hubungan darah dan kekerabatan. Uang menjadi syarat pertama dalam politik, untuk membeli suara dan membentuk citra.

Semenjak merumuskan reformasi sebagai titik pijak perubahan, kita selalu terbentur pada persoalan pencarian kepemimpinan. Gus Dur—pemimpin terpilih era reformasi yang dijatuhkan oleh orang yang sebelumnya selalu ia dukung—yang meski hanya memerintah selama sekitar dua setengah tahun, namun membuat sejumlah terobosan, yakni menggelar peradilan hak asasi manusia untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok. Juga pemimpin dan pelopor yang gigih memperjuangkan nilai-nilai pluralisme. Gus Dur, adalah solidarity maker yang percaya pada cita-cita kebangsaan, demokrasi dan pluralisme serta giat memperjuangkannya.

Meskipun demikian, karena reformasi pada dasarnya tidak diupayakan untuk membawa perubahan kualitatif yang revolusioner, maka ampas masa lalu masih banyak melekat dalam kehidupan sosial-politik kita. Memang muncul pemimpin, namun bukan kepemimpinan dan yang muncul adalah pemimpin bagi serangkaian kegiatan dagang dan tukar-menukar, baik terang maupun gelap, di dalam pasar politik.

Akibatnya, kita mendapatkan para pemimpin medioker. Pemimpin yang karena ketidakbecusannya mengambil sikap tegas dan menjalankannya, sehingga praktik kekerasan dan intoleransi menyebar luas. Praktik korupsi, suap, dan “maling” meruak, yang bahkan datang dari dalam dirinya sendiri (partai bentukannya). Baik di tingkat nasional maupun lokal, para pemimpin medioker merebak lewat jalur pemilu dan pemilukada. Mereka memperlihatkan ketidakmampuan kepemimpinan sambil mengenakan jubah pragmatisme politik. Pemimpin medioker ini mempermainkan kecemasan dan kekhawatiran publik dan menjadikannya keuntungan bagi kepemimpinan politik mediokernya.

Pada titik ini, maka pilihan harus ditujukan kepada pemimpin yang memiliki kemampuan administrator dengan dukungan solidaritas publik, yang punya ketegasan dan bukan pragmatisme politik. Kalau mau disimpulkan dengan sederhana Ia adalah pemimpin yang berintegritas, yang dalam dirinya kepemimpinan sebagaimana pernah dimiliki Indonesia di era-era awal kemerdekaan akan dapat ditemukan kembali.


Tikungan Licin

Pemimpin tumbuh bersama masalah, sekaligus ia dituntut menyelesaikannya. Tuntutan itu menyertai legitimasi yang diperolehnya. Dalam politik, kepemimpinan identik dengan pertanggungjawaban publik. Tanggungjawabnya tidak terletak dalam wilayah teknokratik, melainkan pada wilayah etik. Artinya, seorang pemimpin lebih dituntut memberi arah dan harapan, ketimbang menyediakan alat dan cara. Karena itu, wawasan dan gagasan seorang pemimpin menjadi ukuran pertama atas kapabilitasnya. Ketajaman visi merupakan kekuatan kepemimpinan dan ia dapat menggairahkan rakyat. Kegairahan rakyat yang kembali kepada pemimpin menjadi sumber energi psikis pengambilan keputusan. Di situlah ia menemukan otoritasnya, memastikan kehendak dan menghilangkan keragu-raguannya.

Tentu saja efektivitas kepemimpinan beresonansi dengan lingkungan politik, situasi sosial dan kalkulasi sumberdaya. Kuantitas-kuantitas tersebut baru menjadi persoalan di dalam proses pembuatan kebijakan. Mendahului kalkulasi itu adalah kemampuan pemimpin mengucapkan harapan dan memegang teguh arah tempuh. Pemimpin yang dilahirkan dari suatu peristiwa demokratis, justru memperoleh legitimasi berlebih untuk mengarahkan dan menertibkan agenda reformasi. Ia harus "kuat", karena rakyat berharap banyak dan bermimpi lebih.

Indonesia sedang mengorientasikan demokrasi, tetapi mentalitas feodal masih menjadi infrastruktur utama kepemimpinan politik. Relasi patronasi politik dalam kultur hirarkis-feodalistik itu menghasilkan input palsu dalam pengambilan keputusan pemimpin. Pemimpin yang tidak memahami gejala ini, menjadi tawanan dari para politisi yang justru mengumpulkan kekuatan politik dari mentalitas patronatif itu. Akibatnya, kepemimpinan berubah menjadi soal transaksi. Di peta politik kita, pertarungan gagasan dan kompetisi harapan semakin dikuasai oleh kekuatan-kekuatan irrasional. Inilah hasil dari kepemimpinan yang ragu, serba tanggung dan paranoid.

Arah yang gagal dipertahankan sang pemimpin telah mengubah harapan rakyat menjadi olok-olok dan caci-maki. Sementara itu, para petualang politik seolah melihat peluang terpelesetnya sang pemimpin di tikungan licin skandal politik. Ambisi dan kepentingan jangka pendek kini menjadi semacam energi yang gentayangan menunggu hari gelap politik.

Yang paling berbahaya adalah tumbuh keyakinan yang semakin membesar bahwa demokrasi memang bukan sumber yang soleh untuk menyelenggarakan Indonesia. Asal usul pikiran ini, perlahan-lahan tapi dalam arah yang pasti, mulai menggantikan konsep kepemimpinan republikanis. Dalam kurikulum pendidikan maupun dalam kebijakan politik lokal, telah tumbuh bibit-bibit intoleransi. Dari bibit-bibit inilah kepemimpinan "ir-republikanis" menghitung peluang pergantian kepemimpinan politik.

Kebutuhan kita hari ini adalah mengumpulkan sisa energi demokrasi untuk menempuh rute politik konstitusional, agar pergantian politik dapat berlangsung dengan tuntunan akal-sehat. Kepemimpinan memang telah redup, tetapi demokrasi tidak boleh menjadi gelap

sumber :  https://www.facebook.com/groups/kompasiana/doc/10150262109155686/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.